Titian Kuala News - Pengalaman Kepala Desa Dalam Menyelasikan Permasalahan Hukum di Desa (Oleh Soptian Hadi, S.H.I)
Hukum adat atau biasa disebut juga sebagai Hukum Adat Desa merupakan suatu sistem hukum yang berkembang secara tutun temurun di dalam masyarakat adat. Berbeda dengan hukum positif yang dibentuk oleh negara. Hukum adat tidak ditulis dalam bentuk undang-undang. Melainkan diterapkan melalui kebiasaan serta aturan-aturan adat yang telah diturunkan dari generasi ke generasi dan berlaku untuk masyarakat itu sendiri.
Kepala desa adalah tokoh daerah yang sangat dihormati oleh masyarakat daerah setempat, sehingga ia memainkan peran penting dalam menyelesaikan konflik adat, terutama sebagai mediator. Disebutkan dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa disebutkan bahwa “Kepala Desa bertugas menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan Pembangunan Desa, Pembinaan Kemasyarakatan Desa, dan Pemberdayaan Masyarakat Desa” dimana Kepala desa juga yang mempunyai kedudukan yang setara dengan kokoh masyarakat seperti tokoh Adat atau Temenggung. Oleh karena itu Kepala desa mempunyai Kewenangan untuk menangani dan menyelesaikan serta menjadi mediator dalam dalam penyelesaian konflik yang ada di daerahnya.
Penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Kepala Desa biasanya menggunakan penyelesaian secara alternatif dimana merupakan bentuk kemandirian dan keistimewa desa. Kepala Desa mempunyai kewenangan sebagai hakim perdamaian dalam upaya memberikan pelayanan publik bagi warga desa. Penyelesaian sengketa dengan cara non litigasi dalam Common law dikenal dengan Elective Question Goal , sedangkan dalam hukum pidana dikenal Elective Debate Goal dengan mediasi penal. Apabila tercapai kata sepakat dalam upaya penyelesaian sengketa tercapainya perdamaian, kemudian, pada saat itu, yang berpekara membuat perjanjian dan kesepakatan atas penyelesaian perkara tersebut, serta dituangkan ke dalam Berita Acara.
Didesa Titian Kuala dalam menyelesaikan permasalahan atau konflik mengacu pada Buku Adat Istiadat Suku Maluyu Kecamatan Selimbau dan Buku Hukum Adat Melayu Kapuas Hulu Tahun 2007, yaitu :
Ketua adat berperan sebagai ketua/pimpinan sidang serta Kades sebagai mediator dalam tata cara penyelesaian sengketa/perkara, dimana hal ini sesuai dengan Surat Keputusan Kepala Desa Titian Kuala Nomor 10 tahun 2022 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Ketua Adat Desa.
Adapun tahapan-tahapan/proses yang dilakukan oleh masyarakat yang bersengketa dalam penyelesaian permasalahan diantaranya adalah :
- Pelapor harus melaporkan perkara yang akan di selesaikan dalam sidang adat kepada Ketua Adat Desa;
- Ketua adat Desa Titian Kuala mencatat kronologis yang di sampaikan pelapor dan mencatat laporan tersebut ke buku Register Perkara;
- Setelah itu ketua adat menyampikan laporan dari pelapor yang akan dilaksanakan sidang adat sesuai dengan Buku Register dan kronologis kejadian kepada Kepala Desa;
- Kepala Desa membuat undangan kepada Pelapor dan Terlapor bahwa akan dilaksanakan pemanggilan sidang adat. Dimana dalam undangan tersebut disampikan juga bahwa Pelapor dan Terlapor wajib di damping oleh 1 orang Pendamping dan Satu Orang Saksi;
- Sidang adat dilaksanakan secara tertutup.
Proses Sidang Adat.
Sebelum sidang adat dimulai Kepala Desa menjelaskan terlebih dahulu bahwa Pelapor dan Terlapor harus menyelesaikan terlebih dahulu admnistrasi Sidang adat yang sudah di atur dalam Buku adat Bahwa bagi kedua belah pihak yang berperkara sebelum sidang adat di mulai harus membayar uang sapu Meja masing-masing sebesar Rp. 200.000 kemudian menyerahkan kepada Ketua sidang (Ketua Adat). Setalah itu kepala Desa Titian Kuala meyerahkan Kepada Ketua Adat Untuk Memimpin jalannya sidang adat. Ketua adat menyampaikan Kronologis kemudian menyampaikan Aturan Perkara yang tertuang didalam Buku Adat seperti sebagai berikut:
BAB V
ATURAN PERKARA
- Sebelum mengajukan perkara adat, bagi yang melaporkan atau di laporkan terlebih dahulu harus membayar uang sapu meja masing-masing sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) yang dibayarkan kepada pengurus adat.
- Bagi tiap orang yang mempunyai masalah (perkara) adat yang bersangkutan harus membayar uang kesopan adat kepada siap melakukan kesalahan.
Pasal 8
Orang yang mempunyai perkara dan sudah menerima surat panggilan adat tetapi sebelum perkara tersebut disidangkan, kedua belah pihak telah melakukan perdamaian (secara kekeluargaan) tanpa melalui proses hukum adat, maka kedua belah pihak dikenakan sanksi masing-masing sebesar Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) dibayar kepada pengurusu Adat.
Pasal 9
Seseorang/kelompok yang berpekara dan di panggil sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut tidak menghadap pengurus adat, maka dapat dikenakan sanksi adat sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) yang dibayarkan kepengurus adat (kas Adat)
Pasal 10
Apabila perkara telah diputuskan oleh adat maka keputusan tersebut telah mutlah menjadi keputusan adat.
Pasal 11
Bagi yang mengadu perkaranya kepada pengurus adat, ternyata pengaduan tersebut tidak benar (palsu), kepadanya dikenakan adat sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dibayar kepada Pengurus Adat.
Pasal 12
Apabila terjadi adu mulut antar yang berpekara tetapi melakukan caci maki, mengancam, membuat keributan (menampar meja), dan berlaku tidak sopan, di depan Pengurus Adat (saat persidangan) dikenakan sanksi adat masing-masing Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) yang dibayarkan ke pengurus adat.
Pasal 13
- Bagi seseorang/kelompok yang membuat keributan didalam kampung/Desa, maka yang membuat keributan dapat dikenakan hukum adat kesopan kampung sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah)
- Apabila tidak dapat diselesaikan dtingkat RT/RW, maka akan diteruskan kepengurus adat dikenakan sanksi adat sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dan dibayarkan ke kas Adat.
Pasal 14
Apa bila sesuatu perkara tidak bisa diselesaikan oleh pengurus adat setempat, atau salah satu dari kedua belah pihak tidak menerima keputusan adat tersebut, maka perkaranya akan dilanjutkan kepihak yang berwajib.
Setelah aturan perkara disampaikan kedua Belah Pihak yang berpekara, Pendamping dan Saksi di ambil Sumpah sebelum berpekara, adapun isi Sumpah adalah sebagai berikut:
Apakah Saudara bersedia diambil Sumpah :
Jawab : Bersedia
Menurut Agama apa ?
Jawab : .............
SELANJUTNYA AGAR SAUDARA MENGAMBIL SUMPAH
“DEMI ALLAH SAYA BERSUMPAH”
BAHWA SAYA / AKAN BERKATA SEBENAR-BENARNYA / SESUI DENGAN KEJADIAN DI TEMPAT KEJADIAN PERKARA.
DAN APA BILA SAYA TIDAK BERKATA DENGAN BENAR SAYA ………………………………………………………………………………
DAN SIAP MENERIMA PUTUSAN PERISDANGAN INI.
Dalam berpekara kedua belah pihak secara bergantian menjawab pertanyaan yang di sampaikan Ketua Adat sesuai dengan Kronologis saat di samapikan kepada Ketua adat, di beri waktu untuk Menjawab dan Menyanggah apabila ada ketidak cocokan bagi kedua belah pihak yang berperkara dan keputusan akhir ada Pada Ketua Sidang Adat.
Kepala desa dalam hal ini adalah sebagai mediator dalam menyelesaikan Permasalahan kedua belah pihak yang berperkara.
Dokumentasi Sidang Adat
Beberapa Kasus Perkara Sidang Adat di Desa Titian Kuala.
Data Jumlah Kasus yang di Selesaikan di Desa Titian Kuala Kecamatan Selimbau Kabupaten Kapuas Hulu seperti di Bawah Ini :
03 Juni 2023 23:19:41
Semoga kedepannya open desa semaki jaya...amin...